Rabu, 15 Juli 2009

Upaya Edukasi dengan Mentransformasikan Konsep Ekologi sebagai dasar Pengelolaan Lingkungan Pada Masyarakat Pedesaan

Lingkungan hidup pada akhir-akhir ini menjadi suatu tema yang “keren” dibahas dan menimbulkan pro dan kontra di antara agen-agen lingkungan, terutama oleh manusia sebagai pelaku utama (antroposentris) yang sering mengakibatkan masalah-masalah lingkungan bahkan sampai berakibat pada bencana ekologis. Pembahasan secara serius masalah lingkungan hidup ini dimulai sejak Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup di Stockholm pada tahun 1972. Mengapa dalam kurun waktu dua dekade keberadaan bumi sebagai penyedia sumberdaya alam (natural resources) berada dalam status terancam? Permasalahan lingkungan hidup mendapat perhatian yang besar dihampir semua negara di dunia sejak tahun 1970-an. Salah satu faktor pemicu masalah-masalah lingkungan adalah pertumbuhan penduduk yang besar mengakibatkan meningkatnya masalah terhadap lingkungan hidup. Pertumbuhan populasi manusia yang cepat, menyebabkan kebutuhan akan pangan, bahan bakar, tempat pemukiman, dan lain kebutuhan serta limbah domestik juga bertambah dengan cepat.
Pertumbuhan populasi manusia telah mengakibatkan perubahan yang besar dalam lingkungan hidup. Menurut Prof. Emil Salim, pembangunan turut memberikan sumbangan terhadap kerusakan lingkungan hidup dengan teknologi sebagai instrumennya. Permasalahan lingkungan hidup menjadi besar karena kemajuan teknologi, walaupun ada juga teknologi yang digunakan untuk mengatasi masalah lingkungan hidup seperti teknik konservasi. Berbagai kegiatan dan upaya telah dilakukan oleh negara-negara maju sampai negara-negara dunia ketiga untuk menyelamatkan bumi, tetapi tetap saja kerusakan lingkungan berlanjut.
Pertumbuhan populasi manusia menyebabkan timbulnya permasalahan lingkungan, seperti: kerusakan hutan, pencemaran, erosi dan sebagainya; karena manusia selalu berinteraksi (inter-related) dengan makhluk hidup lainnya dan benda mati dalam lingkungan. Ini dilakukan manusia untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, dalam upaya mempertahankan jenis dan keturunannya. Pemenuhan kebutuhan manusia dapat terpenuhi karena adanya pemanfaatan lingkungan yang berbentuk pengelolaan lingkungan hidup. Melalui pengelolaan lingkungan hidup, terjadi hubungan timbal balik antara lingkungan biofisik dengan lingkungan sosial. Ini berarti sudah berkaitan dengan konsep ekologi, terutama tentang konsep hubungan timbal balik (inter-related) antara lingkungan biofisik dengan lingkungan sosial. Dengan demikian apabila membicarakan lingkungan hidup, maka konsep ekologi akan selalu terkait, sehingga permasalahan lingkungan hidup adalah permasalahan ekologi. Untuk itulah perlu dipahami oleh berbagai pihak akan pentingnya ilmu yang berhubungan dengan pengelolaan lingkungan hidup, tanpa terkecuali masyarakat kelas bawah yang paling banyak berinteraksi dengan lingkungan. Mereka selalu beranggapan bahwa sumberdaya lam yang tersedia dialam adalah milik bersama (common property), sehingga sering mengabaikan pemanfaatan secara lestari (sustainable utilization). Pengertian tentang lingkungan hidup sering dihubungkan dengan ekologi yang berarti ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungan.
Pengelolaan lingkungan hidup bersifat Antroposentris, artinya perhatian utama dihubungkan dengan kepentingan manusia. Kelangsungan hidup suatu jenis tumbuhan atau hewan, dikaitkan dengan peranan tumbuhan atau hewan itu untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, baik material (bahan makanan) dan non-material (keindahan dan nilai ilmiah). Dengan demikian kelangsungan hidup manusia dalam lingkungan hidup sangat ditentukan oleh tumbuhan, hewan, dan unsur tak hidup. Menurut Odum (1979) dalam bukunya “Fundamentals of Ecology”, lingkungan hidup didasarkan pada beberapa konsep ekologi dasar, seperti konsep: biotik, abiotik, ekosistem, produktivitas, biomasa, hukum thermodinamika I dan II, siklus biogeokimiawi dan konsep faktor pembatas. Dalam komunitas ada konsep biodiversitas, pada populasi ada konsep “carrying capacity”, pada spesies ada konsep distribusi dan interaksi serta konsep suksesi dan klimaks.
Dalam pengelolaan lingkungan, konsep yang dilakukan pemerintah hanya dilakukan secara umum tanpa adanya suatu upaya pembelajaran konsep dasar kepada masyarakat tentang pentingnya ekologi sebagai dasar untuk pengelolaan lingkungan. Adapun konsep-konsep ini sangat perlu disampaikan kepada masyarakat agar mereka lebih sadar akan pentingnya pengelolaan lingkungan merupakan tanggung jawab secara bersama sebagai pelaku pembangunan.
Lingkungan hidup adalah tempat di mana kita berada dan tinggal saling berdampingan, saling berinteraksi, saling membutuhkan antara satu dengan yang lain. Di dalam lingkungan ini, manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan termasuk benda-benda mati ada dan hidup berdampingan satu sama lain. Tempat di mana makhluk-makhluk hidup dan mati ada, bertumbuh dan berkembang itulah yang disebut lingkungan hidup.
Kenyataannya bahwa keberadaan lingkungan hidup sangat dekat dengan manusia. Antara manusia dan lingkungan hidup ibarat teman yang sulit dipisahkan satu dengan yang lain. Mereka terkait erat satu sama lain. Keterkaitan itu dapat kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya dengan adanya tumbuh-tumbuhan, kita bisa mendapat oksigen untuk bernafas. Begitu juga dengan tanah, udara, air dan hutan. Dengan adanya tanah, kita bisa berpijak dan bisa menanam tanaman untuk bisa hidup. Udara; dengan adanya udara kita bisa menghirup demi mempertahankan napas hidup. Air; dengan adanya air kita bisa melepaskan rasa dahaga. Hutan; dengan adanya hutan, kita bisa bebas dari erosi dan sumber air semakin banyak, dan seterusnya.
Beberapa survey yang dilakukan di beberapa desa di Kabupaten Minahasa. Kondisi topografi desa yang berbukit-bukit menjadikannya merupakan kawasan pegunungan yang memiliki keanekaragaman tumbuhan yang tinggi, sehingga potensi sumberdaya alam sangat besar dimiliki oleh desa-desa ini. Keberadaan sumberdaya alam di desa ini perlu dipertahankan dari berbagai upaya pengrusakan lingkungan yang merupakan tempat generasi untuk meneruskan kehidupan di masa mendatang.
Adapun kegiatan yang perlu dilakukan pada masyarakat adalah dengan menggabungkan pola pengelolaan lingkungan masyarakat yang dipengaruhi oleh budaya lokal dan pengelolaan lingkungan bersifat antroposentris modern, tetapi dalam pengelolaan lingkungan tetap harus memperhatikan komponen-komponen lingkungan hidup. Berbagai komponen itu dipelajari sebagai konsep-konsep dasar ekologi yang nantinya akan berguna dalam mengaplikasikan pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari.

Jumat, 26 Juni 2009

Eksistensi dan Stabilitas Ekosistem Mangrove Terhadap Dinamika Pembangunan

Sumberdaya alam pada dasarnya terdiri atas unsur-unsur hayati dan fisik, yang membentuk tipe-tipe ekosistem mulai dari pegunungan sampai ke dasar laut. Sumberdaya alam tersebut dapat memenuhi kehidupan dan kesejahteraan manusia dalam banyak aspek antara lain : sosial ekonomi, etis, estetis, higienis dan keilmuan. Demikian juga dengan tumbuhan mangrove mewakili sumberdaya hayati yang kaya dan beragam di daerah pesisir. Secara umum, manfaat mangrove meliputi aspek fungsi fisik, biologis, ekonomis, dan ekologis. Untuk itulah keberadaannya perlu dijaga dan dilestarikan melalui upaya konservasi. Konservasi mempunyai aspek perlindungan (protection), pengawetan dan pencadangan (preservation and reservation) serta pelestarian (sustainable utilization). Adapun upaya konservasi menurut Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup meliputi kebijaksanaan, penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup.
Berdasarkan luasnya kawasan, hutan mangrove Indonesia merupakan hutan mangrove terluas di dunia yaitu ± 2,5 juta hektar melebihi Brazil 1,3 juta ha, Nigeria 1,1 juta ha dan Australia 0,97 ha (Noor dkk, 1999). Namun demikian, kondisi mangrove Indonesia baik secara kualitatif dan kuantitatif terus menurun dari tahun ke tahun. Pada tahun 1982, hutan mangrove di Indonesia tercatat seluas 5.209.543 ha sedangkan pada tahun 1993 menjadi 2.496.185 juta ha, terjadi penurunan luasan hutan mangrove sekitar 47,92 %. Luas hutan mangrove di Sulawesi Utara pada tahun 1982 adalah 27.300 hektar, namun pada tahun 1993 luasnya menjadi 4.833 hektar. Terjadi penurunan sekitar 17,70 (Dahuri, 2001).
Selain faktor alamiah, degradasi kawasan mangrove juga tidak lepas dari adanya tindakan agen-agen yang memanfaatkan potensi sumberdaya alam secara tidak bertanggung jawab. Hal ini dapat terjadi karena tumbuhan mangrove berada di daerah pesisir juga merupakan wilayah pemukiman. Sekitar 220 juta penduduk Indonesia kurang lebih 60 % (140 juta) tinggal dan hidup di kawasan pesisir. Sebagian besar kota dan ibukota provinsi di Indonesia terletak di kawasan pesisir. Demikian juga dengan penduduk dan kota yang ada di dunia ini menurut laporan UNESCO tahun 1993, dua pertiga dari kota-kota di dunia dengan penduduk lebih dari 2,5 juta jiwa berada di wilayah pesisir yang merupakan habitat tumbuhan mangrove. Interaksi antara manusia dengan kawasan pesisir tidak dapat dipisahkan karena sudah merupakan suatu mata rantai kehidupan (BAPPENAS, 2004).
Potensi sumberdaya alam ekosistem hutan mangrove rawan terhadap degradasi, terutama pertumbuhan dan perkembangan mangrove tersebut. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990) rawan berarti keadaan berbahaya, gawat, dikeadaan genting (kerugian, kekurangan), sedangkan degradasi berarti penurunan kualitas yang dapat diakibatkan oleh penanganan. Demikian pula keberadaan hutan mangrove yang berada di daerah pesisir Taman Nasional Bunaken bagian selatan. Berdasarkan kondisi fisik di lapangan pola zonasi mangrove di kawasan ini mulai mengalami kerawanan degradasi. Fenomena ini, jelas mengindikasikan akan terjadinya kerusakan kualitas dan kuantitas potensi sumberdaya ekosistem pesisir yang berimplikasi pada hilangnya fungsi lindung lingkungan dari hutan mangrove tersebut. Oleh karena itu, untuk mengembalikan fungsi dan manfaat hutan mangrove yang mengalami penurunan kualitas dan kuantitas harus dilakukan kegiatan dengan terlebih dahulu mengetahui komposisi struktur vegetasi, pengaruh faktor geofisik dan kerusakan yang diakibatkan oleh perilaku manusia antara lain perusakan habitat, fragmentasi hutan/habitat, gangguan pada habitat dan penggunaan spesies yang berlebihan.
Menurut Sutikno (1995) setiap kegiatan rekayasa yang dilaksanakan di permukaan bumi (lahan) selalu menyebabkan perubahan pada lahan. Perubahan tersebut dapat mengenai aspek lereng, material tanah/batuan, proses atau lingkungan secara keseluruhan. Perubahan tersebut mungkin dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan.
Pola perilaku manusia terhadap ekosistem hutan mangrove disebabkan oleh karena permasalahan sosial ekonomi. Salah satunya adalah marginalisasi masyarakat petani dan nelayan kecil. Menurut hasil studi COREMAP (Coral Reef Management Project) di 10 provinsi Indonesia pada tahun 1997/1998 menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan rumah tangga petani dan nelayan per bulan berada jauh di bawah upah minimun regional per bulan pada waktu itu. Hal ini terasa sangat ironis karena wilayah pesisir menyimpan sumberdaya alam terbaharui yang begitu melimpah, namun kekayaan alam tersebut justru lebih banyak dinikmati oleh mereka yang bukan nelayan.
Masalah pengelolaan wilayah pesisir juga diperumit oleh pemahaman masyarakat yang belum memadai tentang nilai yang sebenarnya dari sumberdaya pesisir secara keseluruhan. Pada umumnya masyarakat hanya memahami sumberdaya pesisir sebagai sumberdaya untuk dimanfaatkan langsung; sedikit dari mereka yang memahami nilai sumberdaya pe¬sisir sebagai penahan banjir, estetika, atau pemanfaatan untuk obat-obatan yang nilai ekonominya bisa jadi jauh lebih tinggi (BAPPENAS, 2004). Permasalahan yang kompleks ini juga terjadi di desa-desa yang ada di pesisir Kawasan Pantai Wori Minahasa Utara, banyak penduduk setempat yang berada pada kondisi sosial yang memprihatinkan dan berada di bawah garis kemiskinan.
Selain masalah kerusakan bio-fisik lingkungan dan masalah sosial ekonomi, wilayah pesisir di kawasan Taman Nasional Bunaken juga menyimpan permasalahan kelembagaan yang rumit, yaitu masalah konflik pemanfaatan dan kewenangan, serta masalah ketidakpastian hukum. Konflik pemanfaatan dan kewenangan terjadi karena wilayah pesisir merupakan pertemuan antara kegiatan di darat dan kegiatan di laut. Semua ke¬giatan di darat yang akan ke laut sudah pasti melalui wilayah pesisir, demikian juga sebaliknya. Hal ini makin diperburuk dengan kenyataan bahwa sampai saat ini belum ada undang-undang yang mengatur penataan ruang atau zo¬nasi perairan laut di wilayah pesisir. Masing-masing instansi memiliki aturan-aturan yang belum terintegrasi dengan sektor-sektor lain.
Pembangunan sektoral pada umumnya mementingkan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir untuk kepentingan sektornya ma¬sing-masing, dan kurang memperhatikan dampak yang bisa ditimbulkan pada sektor lainnya. Undang-undang yang ada tersebut dirasakan masih bersifat sektoral dalam mengatur atau memanfaatkan sumberdaya wilayah pesisir. Dalam beberapa kasus ditemukan berbagai jenis konflik pemanfaatan dan kewenangan, misalnya konflik antara kepentingan konservasi mangrove dengan pembangunan pelabuhan ataupun konversi lahan menjadi tambak atau lahan pertanian. Ketidakpastian hukum sering terjadi karena adanya ambiguitas pemilikan dan penguasaan sumberdaya pesisir. Pada umumnya masyarakat menganggap wilayah perairan pesisir sebagai wilayah tanpa pemilik (open access property). Di lain pihak, pemerintah menganggap wilayah tersebut sebagai milik negara (state property), sedangkan masyarakat adat menganggapnya sebagai milik bersama (hak ulayat/common property). Hal ini masih diperparah lagi dengan adanya konflik antar peraturan perundangan dan kekosongan hukum (BAPPENAS, 2004).
Permasalahan yang mempengaruhi eksistensi dan stabilitas ekosistem hutan mangrove perlu diteliti dan ditindaklanjuti sebelum terjadi kerusakan yang dapat mengakibatkan hilangnya fungsi ekologis kawasan tersebut.

Ekologi dan Konservasi Sumberdaya Alam

Pembahasan ekologi tidak lepas dari pembahasan ekosistem dengan berbagai komponen penyusunnya, yaitu faktor abiotik dan biotik. Faktora biotik antara lain suhu, air, kelembapan, cahaya, dan topografi, sedangkan faktor biotik adalah makhluk hidup yang terdiri dari manusia, hewan, tumbuhan, dan mikroba. Ekologi juga berhubungan erat dengan tingkatan-tingkatan organisasi makhluk hidup, yaitu populasi, komunitas, dan ekosistem yang saling mempengaruhi dan merupakan suatu sistem yang menunjukkan kesatuan.